Kekasihku Pria Formal
agi ini cukup cerah
untuk mengawali hari yang mungkin akan menyenangkan. Hanya beberapa taburan
awan saja yang menghiasi langit biru. Seperti biasa, aku menunggu bus yang
slalu mengantarkanku ke SMA Nusa Bangsa di halte bus. Tanpa sadar aku berpikir
bagaimana cara agar aku bisa menikah setelah lulus SMA dengan seorang pria yang
aku idam – idamkan selama ini, sedangkan sampai saat ini aku belum juga
memiliki seorang kekasih. “Hmm...” Gumamku.
Setelah beberapa lama, akhirnya bus pun datang dan
berhenti tepat didepanku. Aku melongo ketika melihat isi bus yang sesak dengan
manusia – manusia pribumi. “Mungkin hari ini aku harus berdiri sampai bus yang
sesak ini sampai di sekolahku. Aargh...” Pikirku dengan kesal. Di tengah
perjalanan, tanpa disadari aku sedang berhadapan dengan pria tua yang tersenyum
nakal kepadaku. Sejenak aku menatap matanya yang penuh teka – teki. “Kok bapak
ini senyum – senyum gitu? Apa maksudnya?” Aku bertanya – tanya dalam hati,
jantungku tak henti – hentinya berdetak. Aku merasa ada yang aneh dengan bapak
ini dan itu sangat membuatku tidak nyaman.
Cukup lama aku berhadapan dengan pria tua itu. Tentu saja
aku gelisah karena tidak nyaman. Tiba – tiba seorang pria menarik lengan kiriku
dengan cepat dan aku terjatuh di pelukannya. Aku dan dia bertatap – tatapan
mata cukup lama meskipun dari pancaran matanya dia terlihat dingin. Hidungnya
yang mancung membuatku betah berlama – lama menatapnya. Akhirnya dia
mengalihkan pandangannya ke jendela bus dan aku segera membetulkan posisiku
dengan berdiri tegap. Namun apa yang disangka, semua orang berdesak – desakan
di dalam bus termasuk aku dan pria tersebut. Hampir tidak ada jarak sedikitpun
diantara kami. Kali ini detakan jantungku berubah irama menjadi detakan jantung
yang sangat nyaman untuk dirasakan.
Bus pun berhenti di halte dekat sekolahku. Dia turun dari
bus begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa pikir panjang aku
berlari kecil mengikuti pria tersebut, “Hey tunggu!” Ucapku menahannya untuk
tidak terus berjalan. Awalnya dia tidak menghiraukanku, tapi akhirnya dia
menghentikan langkah kakinya secara tiba – tiba yang membuatku tersentak kaget.
“Kau tidak perlu berterima kasih padaku.” Ucapnya dingin. “Tapi aku harus tetap
berterima kasih.” Ucapku tanpa rasa canggung sedikitpun. “Aku hanya kasihan
padamu.” Ucapnya dingin lalu pergi begitu saja. Aku tetap mengejarnya, aku
hanya ingin dia tidak bersikap dingin padaku. Aku halangi jalannya, aku terus
berusaha menghentikan langkahnya. “Bisa tidak kau tidak menghalangi jalanku?
Aku akan terlambat jika kau terus menggangguku!” Ucapnya setengah membentak.
Jujur aku terkejut. Aku tidak menyangka dia bisa semarah itu kepadaku. “Baiklah.”
Ucapku kesal lalu pergi meninggalkannya. “Bruugghh...hh!!!” “Aauuu.” Aku
terpeleset setelah melewati jalan yang licin. Entah bagaimana caranya
menyembunyikan wajahku yang malu setengah mati ini. Semua mata tertuju padaku.
Ada yang tertawa kecil dengan tatapan mengejekku, bahkan ada yang tidak
menghiraukanku.
Aku memang tidak segera berdiri karena aku bingung harus
berbuat apa. Aku pikir tidak akan ada yang mau membantu. Tapi ternyata, ada
uluran tangan yang bersedia membantuku. Tidak disangka pria yang dingin itu
membantuku berdiri. “Terima kasih.” Ucapku senang menirukan gaya bicaranya yang
formal. “Siapa namamu?” Tanyaku. Memang dasarnya dia dingin, dengan santai
tanpa menjawab pertanyaanku dia pergi begitu saja. “Hey!!! Aku bertanya padamu
pria dingin!!” Teriakku dengan kencang. Bukannya dia yang menoleh, malah orang
– orang yang menoleh ke arahku secara bersamaan. Dengan cepat aku berjalan
menuju gerbang sekolah dengan pandangan tertunduk karena malu. Ini benar –
benar hari yang menyebalkan.
***
“Selamat pagi, Kawanku Zahran!” Sapaku kepada Zahran yang
sedang asyik menulis di kelas. “Loh, kok tiba – tiba mendadak formal gitu sih
Lid?” Tanyanya heran setelah mendengar sapaanku. “Mulai sekarang, aku akan
berbicara formal seperti pria formal tadi.” Ucapku sembari mengingat – ingat
pria formal tadi. “Haduh Lidya, gak usah formal gitu deh!” Protes Zahran
kepadaku. Lidya, nama akrabku. “Ehm, tapi tunggu dulu! Pria formal? Siapa itu?”
Tanya Zahran sedikit mendesakku. “Dia pria tampan berhidung mancung yang menyelamatkanku
dari bapak aneh di bus.” Jawabku yang masih terbayang – bayang kejadian di bus.
“Hmm...” Zahran kembali menulis.
***
“Aku yakin dia pasti kuliah disini. Tapi dia ada dimana?
Apa dia sudah pulang?” Tanyaku dalam hati sambil melihat ke kanan dan ke kiri
untuk mencari pria formal tadi pagi. Sekolah SMA Nusa Bangsa memang dekat
dengan Universitas Gajah Mada, hanya berjarak sekitar 100 meter. Itu sebabnya
jalanan disekitar situ selalu ramai dipenuhi siswa SMA maupun mahasiswa /
mahasiswi.
“Aaww...” Teriakku ketika aku merasakan ada tangan jail yang
memukul kepalaku dari belakang. Segera aku menoleh ke belakang dan seketika itu
aku kaget. “Kenapa kau disini? Kenapa kau tidak pulang? Apa kau sedang
mencariku, Perempuan Kecil?” Selidiknya sambil mendekatkan wajahnya kearahku.
Jantungku tiba – tiba berdetak kencang, keringat dingin mulai aku rasakan, dan
lidahku pun terasa keluh. “A... ak... aku... ha... nya...” Ucapanku terhenti
begitu saja dan aku memejamkan mataku dengan kuat ketika wajahnya semakin dekat
dengan wajahku. Hidungnya yang mancung hampir saja menyentuh hidungku yang
tidak begitu mancung. Jantungku semakin tidak karuan sampai akhirnya tangannya
memegang ubun – ubun kepalaku sembari berkata, “Kau takut?” Mendengar itu,
jantungnya mulai rileks, kubuka mataku perlahan dan menatap matanya yang
dingin.
Akhirnya dia menjauhkan wajahnya dariku dan mengalihkan
pandangan ke objek lain, “Sudahlah, jangan mencariku lagi. Urusan kita sudah
selesai. Kejadian tadi sudah berakhir, Perempuan Kecil.” Ucapnya seraya menatap
mataku sejenak lalu pergi. “Aku menyukaimu.” Ucapku dengan refleks yang
berhasil membuatnya berhenti dan menoleh ke arahku dengan sejenak lalu pergi.
Aku pun membalikkan badan untuk pulang. Aku merasa badanku lesu tak bersemangat
dengan langkahan kaki yang berat karena pria formal itu.
***
Hari kedua aku mengenal pria formal tersebut tanpa mengetahui
namanya. “Aku gak boleh nyerah. Aku harus bisa dapetin dia. Semangat!” Ucapku
menyemangati diriku sendiri. Aku langkahkan kaki dengan penuh semangat dan penuh
keyakinan untuk mendapatkannya. Aku mencarinya lagi, perlahan tapi pasti aku
mendekati gerbang Universitas Gajah Mada. Akhirnya aku memasuki area
Universitas yang cukup besar dan luas dengan masih memakai seragam almamater
sekolahku. “Cari siapa dek? Gak pulang, inikan jam pulang anak SMA?” Tanya
seorang pria yang sudah pasti bukan pria formal yang kucari. “Ehm... gak cari
siapa – siapa kok kak. Hehe.” Jawabku bingung. “Ouh yaudah kalau gitu.” Ucapnya
singkat lalu berlalu pergi. “Huuft..” Desahku.
“Ada dimana dia ya? Apa dia masih ada jam kuliah ya?” Aku
bertanya – tanya seraya memperhatikan mahasiswa – mahasiswa Universitas Gajah
Mada satu per satu dengan teliti. “Kau mencariku, Perempuan Kecil?” Aku
tersentak kaget mendengar suaranya. Rasanya seperti ketahuan mencuri barang
milik orang saja. Dengan perlahan aku membalik badan dan lagi – lagi aku
menatap matanya. Lidahku benar – benar terasa berat untuk mengucapkan satu kata
saja. Perempuan kecil? Dia memanggilku perempuan kecil? Apa dia sedang mengejekku?
Panggilan itu terkesan mengejek, tapi ya sudahlah. “Hey! Kenapa kau selalu
melamun? Apa itu hobi mu?” Tanyanya lagi. “Ak... ak... aku... aku tidak sedang
melamun...” Jawabku dengan gelagapan tidak jelas. “Untuk apa kau mencariku lagi?
Kan aku sudah bilang, urusan kita sudah selesai. Lupakan saja kejadian kemarin.
Kejadian kemarin tidak terlalu penting.” Ucapnya seraya berjalan meninggalkanku
menuju halte bus. Ia masukkan masing – masing kedua tangannya kedalam saku
celananya. Gayanya yang terkesan cuek menambah rasa penasaranku tentang dia.
“Kau bilang kejadian kemarin tidak terlalu penting, itu berarti kejadian
kemarin masih terdapat unsur penting.” Ucapku seraya mengikutinya berjalan
menuju halte bus. “Terserah kau saja, dasar perempuan kecil.” Ucapnya dengan
sedikit kesal karena ulahku yang konyol. “Uuhh. Kenapa kau memanggilku
perempuan kecil?” Aku pun tak kalah kesal dengannya. Kulihat dari sudut mataku
dia tersenyum kepadaku, lalu dia mengusap ubun – ubun kepalaku dengan lembut,
spontan membuatku nyaman sedikit kaget dengan sikapnya yang aneh. “Memangnya kau
tidak sadar kalau tubuhmu ini mungil? Tubuhmu lebih kecil dari tubuhku. Untuk
melihatku saja kau sedikit mendongak.” Ucapnya seraya terkekeh kecil. Sekecil
itukah aku didepan matanya? Tapi itu memang benar, tubuhku kecil ketika
berdampingan dengannya. Tapi tidak juga, hanya sebatas pundaknya. “Bukan aku
yang kecil. Kau saja yang terlalu tinggi.” Dia semakin tertawa geli setelah
mendengar ucapanku.
Bus sekolah pun datang, aku dan dia segera masuk ke dalam
bus tersebut. Kali ini aku beruntung, bus sekolah tidak terlalu ramai. Hal itu
mungkin disebabkan karena jam sekolah sudah berlalu 1 jam yang lalu. “Sudah
jangan dipikirkan, aku hanya bercanda.” Ucapnya setelah duduk berdampingan
denganku di bus.” “Aku tidak memikirkannya.” Elakku, dia hanya tersenyum kecil
melihatku. “Ehm... kita belum saling mengetahui nama kita.” Aku berharap dia
mau memberitau namanya padaku. “Namaku Yuki.” Ucapnya singkat. Sungguh, ini
benar – benar keberuntunganku mengetahui namanya. “Namaku...” Belum sempat aku
menjawabnya dia sudah memotongnya. “Perempuan Kecil” Potongnya sambil tertawa
lepas. Baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas seperti itu. Dia benar –
benar terlihat sangat tampan. Aku hanya bisa melongo melihatnya tertawa. Aku
baru mengenalnya 2 hari, dan baru beberapa detik yang lalu aku mengetahui namanya,
tapi aku merasa sudah akrab dengannya. Aku benar – benar jatuh cinta padanya.
***
Keesokan harinya sepulang sekolah, dari kejauhan aku
melihat pria tinggi sedang berdiri di depan gerbang SMA Nusa Bangsa. Semakin
dekat, semakin jelas, semakin kenal aku dengannya. Betapa senangnya aku ketika
melihat pria tampan berhidung mancung tersebut melambaikan tangan dan tersenyum
kepadaku. Aku berlari kecil menuju tempat dia berdiri. Pria tampan berhidung
mancung bernama Yuki itu tersenyum sumringah ketika aku sampai dihadapannya.
Seperti kemarin, dia memegang ubun – ubun kepalaku. Apa mungkin dia cinta
sejatiku?
“Hai, Perempuan Kecil!” Sapanya dengan hangat. Dia benar
– benar berubah 1800. Sifatnya yang dingin berubah menjadi sosok
pria tampan yang menyenangkan. Aku hanya tersenyum bahagia mendengar sapaannya.
“Ehm... Kenapa kau disini?” Tanyaku penasaran. “Kenapa setiap kali kau bicara,
kau selalu mengawalinya dengan Ehm?” Selidiknya dengan tersenyum geli. “Ehm..
Ak... Aku.” Jawabku bingung. “Kau selalu gugup setiap kali berbicara denganku.”
Ucapnya. “Entahlah.” Jawabku pasrah. Lagi – lagi dia hanya tersenyum. Dia benar
– benar berubah menjadi sosok pria yang murah senyum.
Tiba – tiba Yuki mendekatkan wajahnya kepadaku, matanya
menatap mataku dengan banyak arti. “Kau tidak lupakan, kau pernah mengatakan
bahwa kau menyukaiku?” Tanyanya tiba – tiba. “Iy.. iy.. ya.” Tiba – tiba
jantungnya berdebar dengan kencang. Dia tersenyum kecil padaku lalu berkata, “Aku
menyukaimu.”
“Benarkah itu? Apa aku mimpi? Oh Tuhan, aku senang.”
Ucapku dalam hati. “Aku ingin menikahimu, Perempuan Kecil.” Ucap Yuki yang
sontak membuatku kaget. “Yu... Ki... Apa kau sa... kit?” Ucapku dengan hati –
hati. “Aku tidak sakit. Aku serius.” Ucapnya sambil sedikit menjauh untuk memberi
jarak diantara kami. “Tapi aku masih sekolah. Apa kau lupa?” Ucapku padanya.
“Aku tau dan aku tidak mungkin menikahimu hari ini juga.” Ucapnya sambil
terkekeh kecil. Aku sedikit lega mendengarnya.
Dia mengusap ubun – ubun kepalaku dengan lembut. “Kau
terlalu polos, Perempuan Kecilku.” Ucapnya penuh perhatian. “Sebelum menikah,
aku mau kau menjadi kekasihku.” Lanjutnya mantap. Aku benar – benar tidak
menyangka hal ini akan terjadi. Aku rasa ini mimpi, tapi ini nyata. “Kau
serius?” Tanyaku memastikannya. “Tentu, aku serius.” Jawabnya dengan penuh
keseriusan yang tampak dari matanya. Kuanggukkan kepala tanda bahwa aku mau
menjadi kekasihnya. Aku peluk erat tubuhnya. Bagiku mencintai Yuki adalah hal
terindah yang pernah aku lakukan di dunia ini. “I LOVE YOU, YUKI”
TAMAT