Senin, 21 Maret 2016

Cerpen "Kekasihku Pria Formal"



Kekasihku Pria Formal

P
agi ini cukup cerah untuk mengawali hari yang mungkin akan menyenangkan. Hanya beberapa taburan awan saja yang menghiasi langit biru. Seperti biasa, aku menunggu bus yang slalu mengantarkanku ke SMA Nusa Bangsa di halte bus. Tanpa sadar aku berpikir bagaimana cara agar aku bisa menikah setelah lulus SMA dengan seorang pria yang aku idam – idamkan selama ini, sedangkan sampai saat ini aku belum juga memiliki seorang kekasih. “Hmm...” Gumamku.
            Setelah beberapa lama, akhirnya bus pun datang dan berhenti tepat didepanku. Aku melongo ketika melihat isi bus yang sesak dengan manusia – manusia pribumi. “Mungkin hari ini aku harus berdiri sampai bus yang sesak ini sampai di sekolahku. Aargh...” Pikirku dengan kesal. Di tengah perjalanan, tanpa disadari aku sedang berhadapan dengan pria tua yang tersenyum nakal kepadaku. Sejenak aku menatap matanya yang penuh teka – teki. “Kok bapak ini senyum – senyum gitu? Apa maksudnya?” Aku bertanya – tanya dalam hati, jantungku tak henti – hentinya berdetak. Aku merasa ada yang aneh dengan bapak ini dan itu sangat membuatku tidak nyaman.
            Cukup lama aku berhadapan dengan pria tua itu. Tentu saja aku gelisah karena tidak nyaman. Tiba – tiba seorang pria menarik lengan kiriku dengan cepat dan aku terjatuh di pelukannya. Aku dan dia bertatap – tatapan mata cukup lama meskipun dari pancaran matanya dia terlihat dingin. Hidungnya yang mancung membuatku betah berlama – lama menatapnya. Akhirnya dia mengalihkan pandangannya ke jendela bus dan aku segera membetulkan posisiku dengan berdiri tegap. Namun apa yang disangka, semua orang berdesak – desakan di dalam bus termasuk aku dan pria tersebut. Hampir tidak ada jarak sedikitpun diantara kami. Kali ini detakan jantungku berubah irama menjadi detakan jantung yang sangat nyaman untuk dirasakan.
            Bus pun berhenti di halte dekat sekolahku. Dia turun dari bus begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tanpa pikir panjang aku berlari kecil mengikuti pria tersebut, “Hey tunggu!” Ucapku menahannya untuk tidak terus berjalan. Awalnya dia tidak menghiraukanku, tapi akhirnya dia menghentikan langkah kakinya secara tiba – tiba yang membuatku tersentak kaget. “Kau tidak perlu berterima kasih padaku.” Ucapnya dingin. “Tapi aku harus tetap berterima kasih.” Ucapku tanpa rasa canggung sedikitpun. “Aku hanya kasihan padamu.” Ucapnya dingin lalu pergi begitu saja. Aku tetap mengejarnya, aku hanya ingin dia tidak bersikap dingin padaku. Aku halangi jalannya, aku terus berusaha menghentikan langkahnya. “Bisa tidak kau tidak menghalangi jalanku? Aku akan terlambat jika kau terus menggangguku!” Ucapnya setengah membentak. Jujur aku terkejut. Aku tidak menyangka dia bisa semarah itu kepadaku. “Baiklah.” Ucapku kesal lalu pergi meninggalkannya. “Bruugghh...hh!!!” “Aauuu.” Aku terpeleset setelah melewati jalan yang licin. Entah bagaimana caranya menyembunyikan wajahku yang malu setengah mati ini. Semua mata tertuju padaku. Ada yang tertawa kecil dengan tatapan mengejekku, bahkan ada yang tidak menghiraukanku.
            Aku memang tidak segera berdiri karena aku bingung harus berbuat apa. Aku pikir tidak akan ada yang mau membantu. Tapi ternyata, ada uluran tangan yang bersedia membantuku. Tidak disangka pria yang dingin itu membantuku berdiri. “Terima kasih.” Ucapku senang menirukan gaya bicaranya yang formal. “Siapa namamu?” Tanyaku. Memang dasarnya dia dingin, dengan santai tanpa menjawab pertanyaanku dia pergi begitu saja. “Hey!!! Aku bertanya padamu pria dingin!!” Teriakku dengan kencang. Bukannya dia yang menoleh, malah orang – orang yang menoleh ke arahku secara bersamaan. Dengan cepat aku berjalan menuju gerbang sekolah dengan pandangan tertunduk karena malu. Ini benar – benar hari yang menyebalkan.
***
            “Selamat pagi, Kawanku Zahran!” Sapaku kepada Zahran yang sedang asyik menulis di kelas. “Loh, kok tiba – tiba mendadak formal gitu sih Lid?” Tanyanya heran setelah mendengar sapaanku. “Mulai sekarang, aku akan berbicara formal seperti pria formal tadi.” Ucapku sembari mengingat – ingat pria formal tadi. “Haduh Lidya, gak usah formal gitu deh!” Protes Zahran kepadaku. Lidya, nama akrabku. “Ehm, tapi tunggu dulu! Pria formal? Siapa itu?” Tanya Zahran sedikit mendesakku. “Dia pria tampan berhidung mancung yang menyelamatkanku dari bapak aneh di bus.” Jawabku yang masih terbayang – bayang kejadian di bus. “Hmm...” Zahran kembali menulis.
***
            “Aku yakin dia pasti kuliah disini. Tapi dia ada dimana? Apa dia sudah pulang?” Tanyaku dalam hati sambil melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari pria formal tadi pagi. Sekolah SMA Nusa Bangsa memang dekat dengan Universitas Gajah Mada, hanya berjarak sekitar 100 meter. Itu sebabnya jalanan disekitar situ selalu ramai dipenuhi siswa SMA maupun mahasiswa / mahasiswi.
            “Aaww...” Teriakku ketika aku merasakan ada tangan jail yang memukul kepalaku dari belakang. Segera aku menoleh ke belakang dan seketika itu aku kaget. “Kenapa kau disini? Kenapa kau tidak pulang? Apa kau sedang mencariku, Perempuan Kecil?” Selidiknya sambil mendekatkan wajahnya kearahku. Jantungku tiba – tiba berdetak kencang, keringat dingin mulai aku rasakan, dan lidahku pun terasa keluh. “A... ak... aku... ha... nya...” Ucapanku terhenti begitu saja dan aku memejamkan mataku dengan kuat ketika wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Hidungnya yang mancung hampir saja menyentuh hidungku yang tidak begitu mancung. Jantungku semakin tidak karuan sampai akhirnya tangannya memegang ubun – ubun kepalaku sembari berkata, “Kau takut?” Mendengar itu, jantungnya mulai rileks, kubuka mataku perlahan dan menatap matanya yang dingin.
            Akhirnya dia menjauhkan wajahnya dariku dan mengalihkan pandangan ke objek lain, “Sudahlah, jangan mencariku lagi. Urusan kita sudah selesai. Kejadian tadi sudah berakhir, Perempuan Kecil.” Ucapnya seraya menatap mataku sejenak lalu pergi. “Aku menyukaimu.” Ucapku dengan refleks yang berhasil membuatnya berhenti dan menoleh ke arahku dengan sejenak lalu pergi. Aku pun membalikkan badan untuk pulang. Aku merasa badanku lesu tak bersemangat dengan langkahan kaki yang berat karena pria formal itu.
***
            Hari kedua aku mengenal pria formal tersebut tanpa mengetahui namanya. “Aku gak boleh nyerah. Aku harus bisa dapetin dia. Semangat!” Ucapku menyemangati diriku sendiri. Aku langkahkan kaki dengan penuh semangat dan penuh keyakinan untuk mendapatkannya. Aku mencarinya lagi, perlahan tapi pasti aku mendekati gerbang Universitas Gajah Mada. Akhirnya aku memasuki area Universitas yang cukup besar dan luas dengan masih memakai seragam almamater sekolahku. “Cari siapa dek? Gak pulang, inikan jam pulang anak SMA?” Tanya seorang pria yang sudah pasti bukan pria formal yang kucari. “Ehm... gak cari siapa – siapa kok kak. Hehe.” Jawabku bingung. “Ouh yaudah kalau gitu.” Ucapnya singkat lalu berlalu pergi. “Huuft..” Desahku.
            “Ada dimana dia ya? Apa dia masih ada jam kuliah ya?” Aku bertanya – tanya seraya memperhatikan mahasiswa – mahasiswa Universitas Gajah Mada satu per satu dengan teliti. “Kau mencariku, Perempuan Kecil?” Aku tersentak kaget mendengar suaranya. Rasanya seperti ketahuan mencuri barang milik orang saja. Dengan perlahan aku membalik badan dan lagi – lagi aku menatap matanya. Lidahku benar – benar terasa berat untuk mengucapkan satu kata saja. Perempuan kecil? Dia memanggilku perempuan kecil? Apa dia sedang mengejekku? Panggilan itu terkesan mengejek, tapi ya sudahlah. “Hey! Kenapa kau selalu melamun? Apa itu hobi mu?” Tanyanya lagi. “Ak... ak... aku... aku tidak sedang melamun...” Jawabku dengan gelagapan tidak jelas. “Untuk apa kau mencariku lagi? Kan aku sudah bilang, urusan kita sudah selesai. Lupakan saja kejadian kemarin. Kejadian kemarin tidak terlalu penting.” Ucapnya seraya berjalan meninggalkanku menuju halte bus. Ia masukkan masing – masing kedua tangannya kedalam saku celananya. Gayanya yang terkesan cuek menambah rasa penasaranku tentang dia. “Kau bilang kejadian kemarin tidak terlalu penting, itu berarti kejadian kemarin masih terdapat unsur penting.” Ucapku seraya mengikutinya berjalan menuju halte bus. “Terserah kau saja, dasar perempuan kecil.” Ucapnya dengan sedikit kesal karena ulahku yang konyol. “Uuhh. Kenapa kau memanggilku perempuan kecil?” Aku pun tak kalah kesal dengannya. Kulihat dari sudut mataku dia tersenyum kepadaku, lalu dia mengusap ubun – ubun kepalaku dengan lembut, spontan membuatku nyaman sedikit kaget dengan sikapnya yang aneh. “Memangnya kau tidak sadar kalau tubuhmu ini mungil? Tubuhmu lebih kecil dari tubuhku. Untuk melihatku saja kau sedikit mendongak.” Ucapnya seraya terkekeh kecil. Sekecil itukah aku didepan matanya? Tapi itu memang benar, tubuhku kecil ketika berdampingan dengannya. Tapi tidak juga, hanya sebatas pundaknya. “Bukan aku yang kecil. Kau saja yang terlalu tinggi.” Dia semakin tertawa geli setelah mendengar ucapanku.
            Bus sekolah pun datang, aku dan dia segera masuk ke dalam bus tersebut. Kali ini aku beruntung, bus sekolah tidak terlalu ramai. Hal itu mungkin disebabkan karena jam sekolah sudah berlalu 1 jam yang lalu. “Sudah jangan dipikirkan, aku hanya bercanda.” Ucapnya setelah duduk berdampingan denganku di bus.” “Aku tidak memikirkannya.” Elakku, dia hanya tersenyum kecil melihatku. “Ehm... kita belum saling mengetahui nama kita.” Aku berharap dia mau memberitau namanya padaku. “Namaku Yuki.” Ucapnya singkat. Sungguh, ini benar – benar keberuntunganku mengetahui namanya. “Namaku...” Belum sempat aku menjawabnya dia sudah memotongnya. “Perempuan Kecil” Potongnya sambil tertawa lepas. Baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas seperti itu. Dia benar – benar terlihat sangat tampan. Aku hanya bisa melongo melihatnya tertawa. Aku baru mengenalnya 2 hari, dan baru beberapa detik yang lalu aku mengetahui namanya, tapi aku merasa sudah akrab dengannya. Aku benar – benar jatuh cinta padanya.
***
            Keesokan harinya sepulang sekolah, dari kejauhan aku melihat pria tinggi sedang berdiri di depan gerbang SMA Nusa Bangsa. Semakin dekat, semakin jelas, semakin kenal aku dengannya. Betapa senangnya aku ketika melihat pria tampan berhidung mancung tersebut melambaikan tangan dan tersenyum kepadaku. Aku berlari kecil menuju tempat dia berdiri. Pria tampan berhidung mancung bernama Yuki itu tersenyum sumringah ketika aku sampai dihadapannya. Seperti kemarin, dia memegang ubun – ubun kepalaku. Apa mungkin dia cinta sejatiku?
            “Hai, Perempuan Kecil!” Sapanya dengan hangat. Dia benar – benar berubah 1800. Sifatnya yang dingin berubah menjadi sosok pria tampan yang menyenangkan. Aku hanya tersenyum bahagia mendengar sapaannya. “Ehm... Kenapa kau disini?” Tanyaku penasaran. “Kenapa setiap kali kau bicara, kau selalu mengawalinya dengan Ehm?” Selidiknya dengan tersenyum geli. “Ehm.. Ak... Aku.” Jawabku bingung. “Kau selalu gugup setiap kali berbicara denganku.” Ucapnya. “Entahlah.” Jawabku pasrah. Lagi – lagi dia hanya tersenyum. Dia benar – benar berubah menjadi sosok pria yang murah senyum.
            Tiba – tiba Yuki mendekatkan wajahnya kepadaku, matanya menatap mataku dengan banyak arti. “Kau tidak lupakan, kau pernah mengatakan bahwa kau menyukaiku?” Tanyanya tiba – tiba. “Iy.. iy.. ya.” Tiba – tiba jantungnya berdebar dengan kencang. Dia tersenyum kecil padaku lalu berkata, “Aku menyukaimu.”
            “Benarkah itu? Apa aku mimpi? Oh Tuhan, aku senang.” Ucapku dalam hati. “Aku ingin menikahimu, Perempuan Kecil.” Ucap Yuki yang sontak membuatku kaget. “Yu... Ki... Apa kau sa... kit?” Ucapku dengan hati – hati. “Aku tidak sakit. Aku serius.” Ucapnya sambil sedikit menjauh untuk memberi jarak diantara kami. “Tapi aku masih sekolah. Apa kau lupa?” Ucapku padanya. “Aku tau dan aku tidak mungkin menikahimu hari ini juga.” Ucapnya sambil terkekeh kecil. Aku sedikit lega mendengarnya.
            Dia mengusap ubun – ubun kepalaku dengan lembut. “Kau terlalu polos, Perempuan Kecilku.” Ucapnya penuh perhatian. “Sebelum menikah, aku mau kau menjadi kekasihku.” Lanjutnya mantap. Aku benar – benar tidak menyangka hal ini akan terjadi. Aku rasa ini mimpi, tapi ini nyata. “Kau serius?” Tanyaku memastikannya. “Tentu, aku serius.” Jawabnya dengan penuh keseriusan yang tampak dari matanya. Kuanggukkan kepala tanda bahwa aku mau menjadi kekasihnya. Aku peluk erat tubuhnya. Bagiku mencintai Yuki adalah hal terindah yang pernah aku lakukan di dunia ini. “I LOVE YOU, YUKI”


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Parasitologi "Kelas Rhizopoda"

Protozoa (Berdasarkan Alat Gerak) Kelas Rhizopoda (Gerak semu / pseudopodi)     Kelas Rhizopoda berdasarkan habitatnya dibagi...